jump to navigation

Efektivitas Kurikulum Antikorupsi 19 Juni 2012

Posted by aal in Esai, Lansir.
trackback

Dilansir dari Media Indonesia, 18 Juni 2012

~Ali Usman*

Gambar

KPK dan Kemendikbud melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pendidikan antikorupsi di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (9/3/2012). Pendidikan antikorupsi akan diberlakukan mulai tahun ajaran baru 2012-2013. Kerjasama tersebut meliputi pendidikan antikorupsi, penelitian dan pengembangan, pertukaran data dan informasi, laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), program pengendalian gratifikasi (PPG), pengaduan masyarakat dan pengawasan, penertiban barang milik negara, dan program pencegahan tindak pidana korupsi lainnya.

Hal tersebut tentu merupakan suatu gebrakan dan terobosan baru yang dimotori oleh lembaga pendidikan untuk ikut serta memberikan injeksi kesadaran kepada masyarakat kalau korupsi merupakan penyakit kronis bangsa yang harus segera diobati, atau bahkan diamputasi. Hanya saja, dalam konteks Indonesia, muncul pertanyaan, mengapa Kemendikbud mesti bekerjasama dengan KPK untuk sekadar mengimplementasikan kurikulum antikorupsi?

Jika tujuan utama Kemendikbud menjalin kerjasama dengan KPK hanya untuk memperoleh akses sebagaimana isi MoU di atas, sebenarnya terlalu sederhana dan tanpa itu pun, Kemendikbud sangat mudah memperoleh data-data terkait korupsi lewat KPK, yaitu dengan memfungsikan peran koordinasi antar lembaga pemerintah. Karena itu, yang dikhawatirkan justru cenderung politis, Kemendikbud sengaja menggandeng KPK untuk melindungi sekaligus mensterilkan lembaganya dari aroma korupsi.

Lepas dari kekhawatiran itu, tulisan ini tidak bermaksud mengacaukan niat baik Kemendikbud, tetapi sebaliknya, hendak mengapresiasi sekaligus memberikan beberapa catatan terkait dengan rencana pendidikan antikorupsi. Pertanyaanya, efektifkah pencegahan tindak korupsi “diterapi” lewat jalur pendidikan? Bagaimana pula implementasi pendidikan antikorupsi dalam sistem pendidikan nasional Indonesia?

Pendekatan preventif
Pendidikan antikorupsi bukanlah sistem atau pola pendidikan yang sepenuhnya baru, jika dilihat korelasinya dengan pendidikan karakter yang belakangan ini gencar dikampanyekan oleh Kemendikbud. Sejalan dengan pendidikan karakter, pendidikan antikorupsi juga berpijak pada kondisi moralitas bangsa yang kian terpuruk akibat korupsi yang kian membudaya.

Pendidikan antikorupsi dimaksudkan sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya korupsi. Strategi ini mempunyai dampak positif dan kelebihan daripada pendekatan represif. Hanya saja, pendekatan preventif memang tidak dapat dinikmati secara langsung, tetapi dalam jangka panjang. Sementara pendekatan represif, yang mengandalkan jalur hukum dan aparat keamanan, terlihat sangat agresif memenjarakan orang-orang bersalah, termasuk kasus korupsi.

Pendekatan represif memiliki kelemahan. Aspek hukum yang menjadi senjata andalan sesungguhnya merupakan sistem aturan terendah yang dapat dijadikan sandaran dalam berprilaku, karena manusia secara kodrati memiliki hati nurani dan kemampuan pikir yang memdedakan antara sikap manusiawi dan hewani. Di dalam hati nurani terdapat suatu nilai universal khas manusia, disebut moral, yang tatarannya jauh lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih mampu menyentuh ranah individual (Sofia dan Herdiansyah, 2009: 892).

Berbeda dengan pendekatan preventif, yang melihat pada perbaikan moral sehingga orang akan sadar bahwa korupsi merupakan perilaku tidak terpuji yang harus dihindari. Dengan adanya degradasi moral yang menjadi faktor terjadinya korupsi, menyebabkan pendekatan preventif berperan strategis, tanpanya korupsi bisa benar-benar menjadi bagian dari seluruh sendi kehidupan. Upaya preventif akan mempunyai jangkauan yang lebih luas dengan efek jangka panjang menuju lingkungan yang bebas korupsi.

Karena itu, nilai-nilai moral sebagai salah satu unsur penting pembentuk nilai-nilai luhur kehidupan selayaknya menjadi inti dari pembentukan karakter bangsa yang secara psikologis merupakan bagian dari kompetensi yang berada pada domain afektif, kognitif, dan psikomotorik. Dari karakter tersebut akan membentuk suatu pribadi yang memiliki kepribadian antikorupsi.

Pendidikan yang berisi nilai-nilai moral merupakan salah satu unsur dalam kurikulum pendidikan antikorupsi. Proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi ini dalam sistem pembelajaran harus memperhatikan beberapa hal berikut: (1) pengertian atau pemahaman terhadap karakter antikorupsi; (2) perasaan antikorupsi; (3) tindakan antikorupsi; dan (4) internalisasi nilai-nilai (keimanan, etika, dan moral) (Budiningisih, 2004: 34).

Oleh sebab itu, salah satu “pekerjaan rumah” sistem dan lembaga pendidikan di Indonesia saat ini adalah mengembalikan pendidikan pada fungsinya sebagai pembentuk karakter bangsa yang tidak hanya bertugas sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, pengembangan keilmuan, penguasaan life skill dan teknologi, tetapi juga sebagai wahana internalisasi nilai-nilai luhur dan ideal bagi masyarakat.

Indepedensi kurikulum
Sebagai bentuk keseriusan dalam memerangi korupsi lewat jalur pendidikan, pemerintah berencana bakal mengintegrasikan bahan-bahan materi antikorupsi ke dalam kurikulum yang relevan atau kurikulum yang serumpun dengan semangat antikorupsi. Strategi “penyisipan” muatan nilai antikorupsi ini memang sangatlah baik, namun menurut saya, tetap kurang efektif, sebab sejauh ini, walau tanpa kebijakan baru dari Kemendikbud, pendidikan antikorupsi sebenarnya telah diterapkan. Misalnya ketika mata pelajaran/kuliah Pendidikan Pancasila, yang di dalamnya terdapat tema demokrasi, hukum, parlemen, seorang guru/dosen dapat melakukan improvisasi penjelasan dengan mencontohkan beberapa kasus korupsi di Indonesia.

Lalu apa bedanya kurikulum yang sudah berjalan itu dengan rencana baru pendidikan antikorupsi tahun 2012/2013? Di sinilah menurut saya, pemerintah perlu memberikan kebijakan yang “revolusioner”. Pendidikan antikorupsi seharusnya menjadi sebuah mata pelajaran/kuliah independen, terutama bagi perguruan tinggi. Hal ini bisa terjadi jika didukung dan diinisiasi langsung oleh Dirjen Pendidikan di Kemendikbud maupun Kementerian Agama (Kemenag) yang menghimbau—bahkan kalau perlu mewajibkan—kepada semua lembaga pendidikan agar memasukkan kurikulum pendidikan antikorupsi dalam matapelajaran/kuliah. Dengan cara ini, lembaga pendidikan yang ada di Indonesia dimungkinkan akan meresponsnya secara positif, apalagi sudah terdapat wewenang otonomisasi sekolah/kampus.

Di Indonesia hanya Universitas Paramadina yang menjadikan matakuliah “pendidikan antikorupsi” sebagai matakuliah wajib yang harus diambil oleh setiap mahasiswa. Sementara di negara lain, terdapat matakuliah “Corruption and Anti-Corruption” di Asia Pasific School of Economic and Government (APSEG), New South Wales Australia; “Basic of Resistence to Corruption” di Kazakhstan; dan “Corruption in Developing Country” di Georgetown university, USA.

Mengapa pendidikan antikorupsi model integrasi ke dalam kurikulum yang serumpun itu lebih banyak diadopsi oleh sekolah maupun perguruan tinggi di Indonesia? Di luar komitmen yang tidak diragukan lagi terhadap pendidikan antikorupsi, tampaknya pilihan lebih banyak pada pertimbangan praktis. Menyisipkan materi antikorupsi ke dalam satu-dua sesi adalah mudah, namun model integrasi demikian cenderung kurang memiliki ruang bebas bagi penanaman nilai-nilai antikorupsi kepada siswa, kecuali dilakukan penguatan melalui program-program informal di sekolah (Sofia dan Herdiansyah, 2009: 924-925).

Berbeda dengan pendidikan antikorupsi model independen, yang merupakan langkah taktis dan berani. Mengapa? Karena perlu upaya besar bagi sekolah untuk mempersiapkan secara matang seluruh perangkat komplet bagi pelaksanaan suatu mata pelajaran, mulai dari silabus, materi, referensi, metode pembelajaran, sumber daya manusia (pengajar), serta ragam aktivitas siswa bagi pelajaran pendidikan antikorupsi selama satu semester.

Di luar pertimbangan praktis tersebut, terdapat kemungkinan adanya pertimbangan beban moral: berani mengajarkan materi antikorupsi, apalagi sebagai sesuai sebuah mata pelajaran independen, sama artinya dengan secara tidak langsung berani menyatakan lembaga pendidikan terkait sudah bersih dari praktik-praktik korupsi. Padahal, fakta membuktikan demikian banyak dan beragamnya bentuk-bentuk korupsi di sektor pendidikan, sektor yang seharusnya menjadi garda depan negara bagi pembentukan generasi muda baru yang siap melaksanakan good and clean governance untuk membawa bangsanya menuju kesejahteraan sosial ekonomi.

Pada akhirnya, nilai-nilai antikorupsi yang telah diajarkan di kelas akan sia-sia jika tidak mampu menjadi bagian inheren dari kepribadian dan perilaku (maha)siswa yang dipraktikkan secara konsisten dan berkelanjutan dalam hidup keseharian. Karena itu, pendidikan antikorupsi akan menuju kesempurnaan jika kurikulumnya ditunjang dengan program-program ekstrakurikuler, yang menjadi ujian praktik bagi pemahaman tentang korupsi, nilai-nilai antikorupsi, serta keterampilan (skills) melawan korupsi yang telah diajarkan di kelas. Tingkat keberhasilan pelaksanaan program akan menjadi parameter efektivitas dari pembelajaran, khususnya penanaman nilai-nilai antikorup.

*Ali Usman, pemerhati pendidikan, tinggal di Yogyakarta
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/06/18/index.shtml

Komentar»

1. karin - 9 November 2012

thankyou

2. aeymanusia - 22 November 2012

Moga selalu produktif Om… jangan lupa, saya diajarin juga…
hehe…
Kunjungin juga blog saya Om…trim’s…
Salam jurnalistik http://aeymanusia.wordpress.com/

3. Jamaal - 3 Maret 2014

Hmm is anyone else having problems with the images on this blog loading?
I’m trying to figure out if its a problem on my end or if it’s the blog.

Any feed-back would be greatly appreciated.

4. rumah dijual - 24 Agustus 2015

rumah dijual murah, harga mulai 20 jutaan, bahan kayu jati kuno, info lengkap silahkan hubungi 08179442249


Tinggalkan komentar